Kamis, 07 November 2013

(Fanfiction) My Lovely Bestfriend

Tittle              : My Lovely Bestfriend
Author            : Ayunda^^
Cast                : Jung Jinwoon
                          Park Jiyeon
                          Im Jaebum (JB)


“Rasakan ini!”

“Kyaa… curang! Jangan lempari aku terus!”

“Kau yang curang! Bweee…” :P

“Jung Jinwoon! Jangan lari kau!”

“Hahahahaha…”

Dua remaja itu saling berkejaran. Bernafsu melempari kerikil satu sama lain. Tujuan utama mereka bukan untuk saling menyakiti, tapi hanya untuk bersenang-senang. Saling membagi keceriaan yang memang sudah terjalin sejak kecil.


######


## Flashback on ##

“Hiks hiks,” Jinwoon terjengkit saat mendengar suara asing dari kirinya. Namja kecil itu sedang dalam perjalanan pulang ketika tiba-tiba ia mendengar tangis dari anak kecil yang ia perkirakan seorang yeoja. Jinwoon berjalan sangat pelan mendekati pohon besar tempat suara itu bersembunyi. Mengendap-endap takut jika sesuatu di balik pohon itu akan lari ketika melihat sosoknya.

“Hiks hiks..” Sesosok tubuh yeoja kecil kini terlihat di hadapan Jinwoon, sedang menangis terisak.

“Hai, kenapa
kau menangis?” yeoja itu menghentikan tangisnya, tersentak karena seseorang datang menghampiri.

Dengan masih terisak, ia merespon pertanyaan Jinwoon. “Hiks hiks, buku gambarku diambil laki-laki besar yang jahat itu,” ujar yeoja itu sambil menunjuk ke sembarang arah. Jinwoon lantas mendekatinya, berjongkok lalu mengusap kepala sang yeoja, berusaha menenangkannya.

“Padahal itu buku gambar kesayanganku. Halmoni-ku yang memberikannya. Aku sudah menggambar sampai buku itu hampir penuh. Supaya saat buku itu sudah penuh, aku bisa memberikannya lagi pada halmoni. Tapi laki-laki itu mengambilnya. Huaaa…” yeoja itu mengadu pada Jinwoon.

“Ssstt… sudah. Jangan menangis lagi ya.” Jinwoon terus saja mengusap kepala sang yeoja, menunggu sampai ia tenang. Entah mengapa, Jinwoon ingin terus menyentuh kepala yeoja itu. Ingin menenangkannya. Ingin membuat yeoja itu merasa aman di dekatnya.

“Nih, aku sudah selesai menangis,” dengan masih sedikit terisak, yeoja itu menunjuk ke bawah matanya. Memberi tahu jika sudah tidak ada lagi air yang mengalir di sana.

"Nah begitu dong, karena kau sudah tidak menangis lagi aku akan memberikan sesuatu sebagai ganti buku gambarmu" ucap Jinwoon sambil mengaduk-aduk isi tasnya.

"ini, untukmu" ucapnya sambil menyodorkan sebuah kristal berwarna biru kepada yeoja kecil didepannya.

"gomawo" yeoja itu tersenyum manis. sangat manis dimata Jinwoon.

## Flashback off  ##

Jiyeon memandang bosan ke luar jendela kelas. Melihat-lihat lapangan olahraga dengan tatapan kosong. Seperti menunggu sesuatu.

Sesosok namja dengan name tag Jung Jinwoon menghampiri Jiyeon. Duduk di atas meja sambil mengikuti arah pandang Jiyeon.

“Serius sekali. Kau sedang melihat apa? Kau… menunggunya?” Meskipun bel istirahat sudah sejak tadi berbunyi, ia tidak bergeming sedikitpun dari tempatnya. Malas walaupun hanya untuk sekedar berjalan-jalan keluar.

“Baiklah, kalau kau mau di sini saja. Aku akan menemanimu.”Akhirnya Jinwoon memutuskan menemani Jiyeon.

Namja yang ia tunggu itu bernama Im Jaebum atau lebih sering dipanggil JB. Seniornya di Seoul Fantastic School. Sejak masuk di SFS, Jiyeon mulai jatuh cinta padanya.

Selama satu tahun Jiyeon memendam perasaannya pada JB. Hingga suatu hari, saat pengumuman kelulusan, Hyejin memberanikan diri menemui JB. Ingin menyampaikan perasaannya pada Sunbae yang selama 365 hari menempati tempat spesial di hatinya.*bahasanya keren ya?*


JB sudah ke luar dari gedung, Jiyeon yang melihat hal itu langsung menghampirinya. Mengajaknya berbicara empat mata. JB menyetujuinya. Mereka menuju taman di belakang sekolah. Jantung Jiyeon terus berdebam cepat dan keras.
“Tadi kau bilang ingin bicara padaku. Ada apa?” pertanyaan itu sukses membuat Jiyeon kembali mendarat di bumi.

“Emmhh… a-nu. O-Oppa, i-ini,” sepucuk surat berwarna shappire blue ia berikan kepada JB. JB lantas membuka lalu membacanya.

Sambil menunggu, Jiyeon memainkan tangannya gelisah. JB berhenti dan memasukkan kertas itu kembali. Ia hanya tertawa simpul dan kekehan kecil terdengar dari mulutnya. JB mengembalikan surat itu ke tangan Jiyeon. Bukannya menjawab isi surat Jiyeon, JB berlalu begitu saja dengan senyum yang terus terukir di wajahnya.

Seratus kali ia mencoba agar kata-kata yang dibaca JB sempurna. Tapi apa yang Sunbae tersayangnya itu lakukan? Tanpa mengatakan apapun, mengembalikannya begitu saja, berlalu seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Jiyeon menangis. Ia merasa terhina. Terhina diperlakukan seperti ini olah namja yang ia cintai. Pada kenyataannya, namja itu tidak memedulikan perasaanya.

“Jiyeon…” seseorang datang padanya. Tapi bukan JB, bukan seperti yang ia harapkan sebelumnya.

“Jinwoon-ah… Huaaa hiks hiks,” Jiyeon menangis keras di pelukan Jinwoon. Memukul-mukul dada namja itu sebagai pelampiasan. Pukulan Jiyeon tidaklah lembut, cukup keras. Namun itu tidak sama sekali menyakiti Jinwoon. Hatinya. Hatinya jauh lebih sakit. Melihat yeoja yang ia sayangi tersakiti karena orang lain. Hatinya perih. Sakit mendengar setiap isakan Jiyeon.


######


Dua tahun berlalu sejak kejadian menyakitkan itu. Jiyeon berusaha melupakannya. Memulai kembali hidupnya. Dan selama dua tahun itu pula, Jinwoon tidak pernah jauh dari Jiyeon. Dengan setia menghibur Jiyeon setiap waktu, sebisanya. Sebagai sahabat, membantu Jiyeon menyembuhkan luka hatinya. Ya, hanya sahabat.

Saat ini Jinwoon sedang mengajak Jiyeon pergi bersama. Menikmati festival kembang api malam tahun baru di tepi Sungai Han.

“Jinwoon-ah… lihat! Yang itu indah sekali,” tunjuk Jiyeon ke langit dengan senyum yang terus terukir di wajahnya.

Bukannya mengikuti telunjuk Jiyeon, Jinwoon malah menatap wajah Jiyeon seksama. Sungguh, tidak ada yang lebih membahagiakan baginya selain melihat yeoja yang ia cintai tersenyum. Terlihat sangat bahagia.

“won..won, kesambet setan mana? Dari tadi liat wajahku segitunya. Kaya’ om-om yadong,” semburat merah muncul di pipi Jinwoon, ketahuan Jiyeon bahwa ia sedang menatapnya. Untung saja, ini sudah tengah malam, gelap, jadi Jiyeon tidak bisa melihat pipinya yang sedang merona.

“Ini, tolong pegangkan es krimku dulu.” Ucapnya sembari mengangkat lalu meniup terompet dengan kencang bersamaan dengan orang-orang lain. Di malam tahun baru yang dingin, Jiyeon malah memilih makan es krim. Tapi itu tidak masalah bagi Jinwoon. Sungguh. Apapun keinginan Jiyeon, baginya tidak pernah salah.

Jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. Jinwoon berjalan di samping Jiyeon yang terlihat lelah dan mengantuk. Ia lalu berjongkok.

“Naik ke sini.” perintah Jinwoon. Jiyeon berjalan semakin sempoyongan menuju Jinwoon.

“Kau mau… menggendongku? Tapi aku beraaatt…”

“Ya! Cepat sini. Aku tidak akan membiarkanmu kenapa-kenapa di jalan.”

“Tidak usah. Aku jalan sendiri saja.”

“Jiyeon, ayolah. Kau tidak akan menolak permintaan sahabatmu ini kan?” dengan ragu Jiyeon berjalan menuju puggung Jinwoon. Jujur saja, ia memang sangat mengantuk, dan punggung Jinwoon terlihat sangat nyaman.

Jiyeon naik ke punggung Jinwoon. Jinwoon berjalan santai sambil menggendong ‘beban hidupnya’.

“Aku yang mengajakmu ke luar. Maka aku juga harus mengembalikanmu sampai rumah dengan selamat.”

“Jiyeon. Jiyeon-ah,” ternyata Jiyeon sudah tidur. Ia tidak merespon perkataan Jinwoon. Tubuh Jiyeon yang berat terasa enteng bagi Jinwoon. Bukankah dengan cinta semuanya terasa ringan?

“Park Jiyeon. Saranghamnida.” Memendam cinta terlalu lama seperti ini terkadang membuat Jinwoon sakit hati sendiri. Apa yang bisa ia perbuat? Jiyeon hanya menganggapnya sebagai sahabat.

Langkah Jinwoon berhenti. Mereka telah sampai di depan rumah Jiyeon.

“Eng.... kita, sudah sampai?” Jiyeon menyadari Jinwoon dari tadi sudah berusaha membangunkannya.

“Gomawoyo, Jinwoon-ah… Lain kali kutraktir kau makan ya…” Menyadari dirinya masih mengantuk dengan lekas Jiyeon masuk ke rumah. Tapi tangan Jinwoon menahannya.

"ada yang ingin aku katakan"

“Aku mencintaimu, Park Jiyeon.” Jiyeon sedikit membuka matanya. Dengan nyawa yang masih belum terkumpul sempurna, ia tidak jelas mendengar perkataan Jinwoon.

“Huh?!”

‘Cup’

Tanpa aba-aba Jinwoon mencium bibir Jiyeon. Menempelkan bibirnya di bibir Jiyeon dengan sempurna. Mata Jiyeon membulat. Tubuhnya kaku, tak bergerak sama sekali. Tangan kanan Jinwoon menahan belakang kepala Jiyeon, sementara tangan kirinya memeluk Jiyeon.

‘Plakkk’

Tamparan keras sukses mendarat di pipi mulus namja itu. Jiyeon menamparnya karena tidak terima dengan perlakuan Jinwoon.

“Jinwoon-ah, kenapa kau melakukannya. Wae? Hiks hiks,” Jiyeon berlalu ke dalam rumah, tapi dengan cepat Jinwoon menahan tangannya.

“Lepaskan!”

“Tapi Jiyeon. A-aku…” cengkramannya terlepas. Jiyeon lalu berlari masuk. Meninggalkan Jinwoon yang masih mematung di luar rumah. Butiran salju yang berguguran semakin menurunkan suhu tubuhnya. Dan juga membekukan hatinya.

“Bodoh! Kenapa kau begitu bodoh Jinwoon? Dia pasti membencimu sekarang!” Jinwoon memaki dirinya sendiri, menyesali perbuatannya pada Jiyeon. Harusnya ia menyatakan perasaannya pelan-pelan. Tidak seperti ini.

## Flashback on ##

Kedua bocah kecil itu kini berjalan menyusuri trotoar kompleks. Jinwoon berusaha lebih akrab, ia menggandeng tangan yeoja di sampingnya. Hal itu lantas membuat pipi sang yeoja bersemu merah. Ia tidak pernah diperlakukan seperti ini bahkan oleh teman laki-lakinya sekalipun.

“Namaku Jung Jinwoon. Namamu siapa nona cantik?”

“Namaku Park Jiyeon. Kau ini masih kecil sudah pintar merayu ya?” dan cengiran lebarpun tertampang di wajah sang namja.

## Flashback off  ##

Duduk dengan memeluk lutut. Itulah kegiatan Jiyeon saat merasa sendirian di rumah. Sekarang Jiyeon tidak tahu harus curhat atau untuk sekedar mengobrol dengan siapa. Jinwoon yang dulunya selalu di sampingnya pasti akan setia mendengarkan semua ceritanya. Tapi sekarang sudah tidak ada. Sejak kejadian itu, mereka berdua tidak pernah lagi bersama. Bahkan saat berpapasan di sekolah, mereka tidak saling menyapa.

Jiyeon hanya berjalan menunduk saat melihat Jinwoon berjalan di depannya. Sementara Jinwoon? Jangankan menanyakan keadaanya, untuk menatap Jiyeon saja ia tidak berani. Saat itu Jinwoon sedang asik menyeruput bubble tea kesukaannya. Mengingatkan Jiyeon pada kenangan saat mereka masih bersama.

Mereka biasa menghabiskan minuman favorit Jinwoon itu berdua. Bahkan, saat uang mereka tinggal sedikit, mereka bisa menikmati bubble tea satu cup berdua.

Tidak. Jiyeon bukannya membenci Jinwoon. Perasaan aneh yang akhir-akhir ini timbul ketika berada di dekat Jinwoon kembali hadir. Ya, pelan tapi pasti, Jiyeon menyukai namja itu.

Waktu yang dia habiskan untuk melupakan perasaan kagumnya pada JB, diambil alih oleh Jinwoon. Dia menutup luka Jiyeon, menggantinya dengan cinta yang baru. Jiyeon hanya takut, sesuatu yang buruk akan datang jika mereka bersama. Dia tidak mau persahabatan mereka hancur hanya gara-gara masalah di antara sepasang kekasih.

Namun, sepertinya keputusannya untuk menghindari Jinwoon juga salah. Dia kehilangan Jinwoon. Sahabatnya. Cintanya. Jinwoonnya…

## Flashback on ##

Tiga menit sudah mereka berjalan sambil Jinwoon terus menggandeng yeoja kecil bernama Park Jiyeon itu.

“Sudah hampir sampai.” Jiyeon menyadarkan hayalan Jinwoon.

“Rumahmu yang mana? Kalau aku tinggal di situ.” Ucap Jinwoon sambil menunjuk rumah tingkat dua berwarna biru.

“Rumahku yang itu. Ternyata kita tetangga ya? Hihi, :D ” Jiyeon lalu tersenyum. Manis. Sangat manis, menurut Jinwoon.

## Flashback off  ##


######


Jiyeon POV

“Jiyeon, sini.” Salah seorang di antara mereka melambai ke arahku.

Merekalah teman kampus sekaligus teman band Jin Young Oppa, kakak kandungku. Hampir setiap hari mereka ke rumah. Apalagi sekarang, sebentar lagi ‘Seihen’, band yang mereka gawangi akan mengikuti lomba tidak kurang satu minggu lagi. Mereka biasa berlatih di studio yang sengaja dibangunkan Appa untuk Jin Young Oppa.

“Jiyeon, tolong antar mereka ke depan. Aku mau membantu Eomma di atas.” Teriak Jin Young Oppa dari tangga.

“Kami pulang dulu ya. Ini sudah malam,” ucap Yesung oppa setelah melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 22.00 PM.

“Iya. Kami pamit dulu.” Timpal Ryeowook  Oppa sembari membungkukkan sedikit kepalanya.

“Jangan lupa ucapkan terima kasih kami pada Eomma.” Karena terlalu sering main ke sini, kami sudah seperti keluarga. Mereka juga tidak memanggil orangtuaku Ahjussi dan Ahjumma, tapi Appa dan Eomma.

Tiba-tiba, sepasang tangan besar namun lembut menangkup kedua pipiku.

“Jiyeon, a-aku, aku pamit dulu ya. Aku janji tidak akan lama. Tenang saja, secepatnya aku kembali lagi ke sini. Kalau kau tidak bisa tidur, telpon saja aku.” Donghae  Oppa mengerlingkan sebelah matanya.

‘Hoeekk’ perutku mual.

Kalau ada yang mengira aku dan Donghae Oppa berpacaran, maka orang itu salah besar. Donghae Oppa memang seperti itu. Kelakuannya aneh. Tiba-tiba bisa jadi sok romantis padaku. Jangankan berpacaran, menyukai layaknya perasaan yeoja pada namja saja tidak. Menurutku, dia tidak ada bedanya dengan Jin Young Oppa dan teman-temannya yang lain. Jahil, mengganggu, berisik, sumber keributan. Tapi aku senang, rumahku jadi ramai. Bersama mereka membuatku tidak lagi merasa kesepian. Orangtuaku juga tidak keberatan. Menurut mereka, lebih banyak lebih baik.

“Daaahhh…..” ucap mereka serempak sambil melambai-lambaikan tangan ke arahku. Sempat kulihat Donghae Oppa mengarahkan kiss bye.

“Hmmm…” setelah mengantar orang-orang itu, aku masuk ke dalam rumah.

Author POV

Sejak mengantar teman-teman Oppa-nya ke depan rumah, tanpa Jiyeon sadari sepasang mata tengah mengawasinya dari balik pohon di seberang jalan. Dari kejauhan, samar-samar sosok itu bisa mendengar percakapan orang-orang di depannya.

“Jiyeon. A-aku, aku pamit dulu ya. Aku janji tidak akan lama. Tenang saja, secepatnya aku kembali lagi ke sini. Kalau kau tidak bisa tidur, telpon saja aku.”

Dua cup bubble tea di tangannya terjatuh bebas. hatinya sakit melihat yeoja yang ia cintai disentuh dengan bebas oleh orang lain, apalagi Jiyeon terlihat malu-malu disentuh oleh laki-laki itu.

Awalnya orang itu ingin menemui Jiyeon untuk kembali merajut persahabatan seperti dulu. Tapi sekarang, harapan itu pupus sudah. Hatinya terlanjur sakit.


One Hour Later

Jinwoon mondar-mandir di bawah kamar Jiyeon. Sebisa mungkin, matanya berusaha menangkap gerakan apapun dari jendela kamar yeoja yang membuat dunianya jungkir balik. Namun, nihil. Yang ada, hatinya semakin gelisah.

Rasa cinta ini. Rasa cemburu ini. Terlalu besar untuk dibendung.

Di tengah remangnya malam, tiba-tiba cahaya menerangi kepalanya. Mata Jinwoon menangkap jalan keluar! Atau lebih tepatnya jalan masuk ke kamar Jiyeon tanpa ketahuan siapapun. Tanaman rambat yang langsung menuju balkon kamar Hyejin.

Secepat ninja, Jinwoon mengambil ancang-ancang merayapi tanaman rambat yang sepertinya sangat rapuh. Namun, tidak terbersit secuilpun takut di hatinya. Yang ada, hanya takut kehilangan Jiyeon.

Setelah menemukan tempat yang pas, Jinwoon menarik napas dalam-dalam. Lalu memulai gerakan pertamanya. Jinwoon merayap layaknya Spiderman. Tidak menghiraukan dingin dan sakit karena kulitnya tergores duri-duri tajam tanaman itu.

“Sedikit lagi....” namja itu terengah sambil terus menyemangati tangan dan kakinya yang mulai lemas.

Tapi, keyakinan itu goyah ketika tangan kanannya terlepas dari pegangan. “Akkhhh..!” Dia berteriak tertahan.

Jinwoon berusaha menjaga keseimbangannya. Tangan kirinya memegang pagar balkon, mengangkat tubuh bagian bawahnya ke atas.

“Ayooooo!!” Teriaknya pelan. Dan berhasil! Kedua kaki Jinwoon menjejak lantai balkon dengan sempurna.

Mendengar suara berisik dari balkon, Jiyeon mulai ketakutan.

‘Itu kucing atau… bagaimana kalau itu maling?’ sedikit heran lalu tanpa pikir panjang Jiyeon mengambil tongkat kasti di lemari. Berjalan mengendap menuju balkon.

‘Bagaimana bisa maling itu masuk lewat balkon kamarku?’ perasaan Jiyeon kacau. Takut suara berisik di luar memang benar-benar maling.

‘Krieett’ pintu balkon terbuka. Ia mengambil napas dalam dan bersiap menyerang apapun yang berada di luar situ.

“Kyaaa… pencuriiiiii…” hampir saja tongkat itu mengenai Jinwoon kalau saja ia tidak menghindar.

“Waaaa… Jiyeon, ini aku, Jinwoon.” Jiyeon mengerjapkan matanya beberapa kali. Memastikan sosok di depannya ini memang benar-benar orang yang sangat ia kenali.

“Jinwoon. Kenapa kau lewat sini? Kenapa tidak dari depan saja?”

“Anu, itu, aku takut mengganggumu.”

“Justru seperti ini kau membuatku kaget.” setelah diam beberapa detik, mereka akhirnya saling berpelukan. Melepas rasa rindu yang selama ini membelenggu.

“Awww…” tanpa sengaja Jiyeon menyentuh lengan Jinwoon. Di sana terdapat banyak luka akibat tanaman rambat berduri.

“Jinwoon…” matanya berkaca-kaca. Tidak tega melihat penderitaan yang harus Jinwoon lalui untuk sekedar menemuinya malam ini.

“Kau duduk dulu di sana.” Jiyeon menyuruh Jinwoon duduk di kursi. Sementara ia mencari kotak obat di atas lemari.

“Aww sakitt…”

“Ya! Pelankan sedikit suaramu, nanti kalau yang di luar dengar bagaimana? Kau ini namja bukan sih? Dari tadi terus berteriak, seperti yeoja saja.”

“Aku begini juga karena kamu tahu!”

“Siapa suruh! Ada jalan lewat depan. Malah lewat balkon. Dasar aneh!”

“Selesai.”

Jinwoon menahan tangan Jiyeon ketika yeoja itu hendak menaruh kotak obat kembali pada tempatnya. Menyadari hal itu, Jiyeon mengurungkan niatnya. Menggeletakkan kotak itu di lantai.

“Apa?” Jiyeon bingung, melihat Jinwoon yang seperti berpikir.

“Jiyeon, secepat itukah kau bisa menemukan penggantiku?”

“Ah bukan. Tidak sama sekali begitu. Hanya saja….”

"Apa kau begitu mudah melupakanku?"

"tidak, aku tidak melupakanmu Jinwoon-ah"

"hanya saja kau lebih mementingkan pria yang baru pulang dari rumahmu itu daripada sahabatmu?" Kalimat Jinwoon terdengar penuh selidik.

"siapa? namja yang tadi? dia itu teman oppaku"

"jadi... kau tidak memiliki hubungan apa-apa dengannya?"

"tidak..."

Dengan cepat Jinwoon langsung memeluk Jiyeon, merasa lega dengan apa yang baru saja diucapkan Jiyeon.

"saranghae.."

"nado.. nado saranghae"


######


Hari ini kembali seperti kehidupan mereka semula, mereka selalu bersama-sama dan tak terpisahkan seharian penuh ini. Sekaran Jinwoon dan Jiyeon sedang duduk di taman sekolah sambil meminum Bubble tea favorit Jinwoon.

"Jinwoon-ah, apa kau ingat besok hari apa?"

"eumm... besok hari selasa, wae?" Jinwoon pura-pura tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan Jiyeon.

"mwo? apa kau lupa?" Jiyeon memanyunkan bibirnya sebal.

"jangan begitu dong.. ne ne aku ingat kok besok hari apa" ucap Jinwoon akhirnya.

"Jinja? memangnya besok hari apa?"

"besok tepat 10 tahun kita bersahabat"  Sebenarnya Jinwoon sedikit miris mengucapkan kata terakhir dalam kalimatnya itu.

"ne. bagaimana kalau kita rayakan besok?" jawab Jiyeon antusias.

"ide bagus. besok kita rayakan di restoran favorit kita, restoran Gulliver"

"baiklah, jam 4 sore ne?"

"tapi mungkin besok aku telat karena harus menservis laptopku dulu" ucap Jinwoon.

"gwenhana, aku tunggu jam setengah 4 arra?"

"arraseo"

Mereka berjanji akan merayakan 10 tahunnya persahabatan mereka besok di restoran Gulliver, restoran favorit mereka berdua.


######


Hari ini tepat pukul setengah 3  siang Jinwoon bersiap-siap pergi ke restoran Gulliver, tentu sebelumnya menservis laptop dulu sebelum ke restoran. I sudah mempersiapkan semuanya dengan baik mulai dari penampilannya dan lain-lain.


Setelah pulang dari tempat service laptop, Jinwoon menjalankan mobilnya menuju restoran Gulliver tempat ia akan bertemu dengan Jiyeon. Wajahnya terlihat berseri-seri. Tangan kirinya memegang dada merasakan jantungnya yang berdegup kencang.


Jinwoon pov

Hari ini adalah hari yang kutunggu-tunggu. Hari dimana aku akan bertemu dengan orang yang kucintai. Kuletakkan tangan kiriku di dadaku. Oh tuhan.. mengapa jantungku berdetak sekencang ini?

Drrrt.. Drrrt..

Kurasakan hanphone disakuku bergetar. Segera kuambil dan kulihat layarnya ternyata ada pesan dari Jiyeon.

From : Jiyeon

Jinwoon-ah kau dimana? aku sudah sampai direstoran.
Jangan lama-lama ne? aku menunggumu


Dengan cepat aku segera membalas sms nya

To : Jiyeon

aku sedang diperjalanan. sabar ne? aku akan cepat datang.
saranghae <3


Author pov

Setelah membalas sms dari Jiyeon, Jinwoon meletakkan handhonenya di dashboard mabil. Tapi handphonenya tersebut jatuh. Spontan ia berusaha mengambil handphonenya dibawah. Karena tangannya tidak bisa mencapai handphone ia sedikit membungkukkan badannya lebih rendah.

Setelah berhasil mendapatkan handphonenya kembali, ia kembali menegakkan badannya dan kilatan lampi sebuah truk menerpa wajahnya diiringi dengan bunyi nyaring klakson truk tersebut.

TTTTTIIIIIIINNNN

BRAKK

Mobil yang dikendarai oleh Jinwoon terpental dan berguling dua kali setelah sebelumnya menabrak bagian depan sebuah truk pengangkut kayu.
Mobil itu berhenti berguling dalam keadaan terbalik. Jinwoon yang ada didalamnya berusaha keluar dari mobil, namun tenaganya yang lemah dan posisinya yang terjepit semakin mempersulit gerakanya.

Sarangi tjana uri hamkekan manheun nal dongan...
Hamkke aphaetjana seoroui irin juldo moreugo...

Lantunan lagu memories terdengar dari hanphone yang berada di genggaman Jinwoon. Terlihat gambar telephone yang menandakan ada sebuah telpon masuk. Dibawahnya ia melihat sebuah nama gadis yang begitu ia cintai, Park Jiyeon.

"mianhae Jiyeon-ah... Saranghae" Jinwoon bergumam dengan sisa tenaga yang ia miliki.


######


Jiyeon pov

Disinilah aku sekarang.. duduk disamping sebuah ranjang yang ditempati oleh seseorang dengan mata sembab dan penampilan acak-acakan. Kemarin aku mendapat telfon dari seseorang yang memakai handphone Jinwoon. Orang itu mengatakan bahwa Jinwoon mengalami kecelakan. Dia dibawa kerumah sakit dan dokter menyatakan bahwa ia koma.

kreeeettt...
Pintu kamar ini terbuka dan muncul seorang wanita cantik. Dia adalah Nyonya Jung. Ibu Jinwoon yang sudah kuanggap seperti eommaku sendiri.

"Jiyeon, ahjuma membawakanmu ini" ucapnya sambil menyodorkan sebuah kotak besar padaku.

"apa ini?"

"bukalah"

Aku membuka tutup kotak ini. Yang pertama kali kulihat adalah sepasang boneka beruang lucu yang kotor dan sudah tidak layak pakai. Boneka yang sering kumainkan bersama Jinwoon saat kami kecil.

Yang kedua, aku melihat sebuah album foto yang berisi foto-foto kami berdua. Airmataku menetes saat melihat foto kami yang diambil saat kami SMP. Ia masih menyimpan semuanya.

Kulirik nyonya Jung. Sepertinya ia sudah tak bisa menahan airmatanya. Ia keluar dari ruangan ini. Kuarahkan mataku pada Jinwoon. Ia masih tenang dalam tidurnya.

Dan benda terakhir yang kulihat adalah sebuah buku gambar A4 yang sepertinya aku kenal. Kubuka buku itu dan ternyata banyak gambaran-gambaranku ketika aku kecil dulu.

Hiks.. hiks..

Tangisanku semakin kencang ketika mengingatnya.

"uljima Jiyeon-ah" kurasakan sebuah tangan hangat menghapus airmataku.

"jinwoon" ia tersenyam. Senyum yang sangat aku sukai.

"uljima chagiya" ucapnya lagi dan akupun langsung memeluknya.

"Jinwoon.. gomawo"



## Flashback on ##

"hei.. penakut! jangan sok jagoan" bentak seorang laki-laki gendut

"aku hanya ingin mengambil buku itu. Kembalikan, itu buku milik Jiyeon" Jinwoon kecil berusahan merebut buku gambar Jiyeon dari anak laki-laki itu.

"enak saja. kau harus diberi pelajaran karena berani mlawanku" kedua  anak kecil lainnya memegang tangan Jinwoon.

BUK.. BUGH.. BUK

Pukulan-pukulan keras menghantam perut dan wajah pria kecil itu. Setelah puas, gerombolan anak nakal itu pergi dan meninggalkan buku gambar milik Jiyeon.

Jinwoon meraih buku itu dan tersenyum. Ia berhasil mengambil kembali buku milik Jiyeon.

## Flashback off ##


#### END ####

Tidak ada komentar:

Posting Komentar